Cerpen - Cindur Mata, Karya H.Aman Dt.

Cerpen - Cindur Mata, Karya H.Aman Dt.
Minangkabau diperintah oleh seorang raja perempuan yang bergelar Bunda Kandung. Ia memiliki seorang putera laki laki yang diberi gelar Dang Tuanku. Pada saat itu, Dang Tuanku telah dinobatkan menjadi raja, sehingga Bunda Kandung hanyalah sebagai penasehat kerajaan. Oada tepat tengah hari, Bunda Kandung menyuruh pelayannya Si Kembang untuk membangunkan anaknya dan menemuinya di serambi. Namun, pelayannya itu menolak karena ia tidak berani membangunkan Dang Tuanku. Dengan ditemani Si Kembang. Bunda Kandung menghampiri kamar anaknya. Ia menceritakan kabar bahwa datuk Bendahara di negeri Sungaitarap mencari jodoh bagi Putri Lenggo Geni. Banyak sutan dan anak raja yang meminangnya, namun semua itu ditolak oleh gadis itu.

Bunda Kandung menyuruh Dang Tuanku membicarakan rencana perjodohan Cindur mata dengan Putri Lenggo Geni. Ia meminta agar perundingan ini dirahasiakan sehingga bila ditolak, mereka tidak mendapt malu. Ia juga memerintahkan agar anaknya mengajak Cindur Mata dan beberapa orang pelayan, yaitu Barakat, Baruiih, dan Tamabhi, serta membawa seekor ayam kinantan sabungan.
Keesokan harinya kira kira pukul sembilan pagi, Bunda Kandung memerintahkan beberapa pelayan untuk mencari Cindur Mata yang sudah tiga hari di pulang. Setelah Cindur Mata berada di hadapannya, Bunda Kandung menyuruhnya untuk pergi ke Sungaitarab menemai Dang Tuanku.

Dalam perjalanan menuju Sungaitarab itu, banyak rakyatyang terkagum kagum akan penampilan mereka yang serba gemerlapan. Mereka berlomba lombauntuk melihat rombngan itu dari dekat. Kemudian, datanglah seorang menteri tua memberitahukan bahwa rombongan itu adalah Raja Syah Alam yang memerintah di Paarruyung. Ia juga menyuruh seorang utusan untuk memberitahukan Datuk Bendahara akan kedatangan raja mereka. Mendengar kedatangan rombongan raja itu, Datuk Bendahara segera mengadakan pesta penyambutan yang sangat meriah.

Petang harinya, Dang Tuanku menceritakan maksud kedatangan untuk menjodohkan Cindur Mata dan Putri Lenggo Geni. Tanpa berpikir panjang Datuk Bendahara mengabulkan permintaan itu. Sebagai tanda pertunangan keduanya, Dang Tuanku menyerahkan sebuah rencong tatah permata buatan Agam Mandiangin, sedangkan Datuk Bendahara memberikan sebuah cincin permata akik.

Keesokan harinya ketika Dang Tuanku dan Bendahara menyabung ayam di gelanggang, Cindur Mata berjalan jalan ke hilir pasar. Ia bertemu dengan seorang penggalas yang hendak menjual ayam sabungannya. Tentu saja, Cindur Mata merasa heran karena penggalas itu datang jauh jauh hanya untuk menjual ayam sabungan saja. Penggalas itu kemudian menjelaskan bahwa dinegerinya akan diadakan pesta pernikahan Tuanku Imbang Jaya dan Upik Puteri Bungsu, putri tuanku di Pagarruyung (Dang Tuanku) sejak ia dilahirkan. Namun, tersiar kabar bahwa Dang Tuanku menderita suatu penyakit parah dan menjijikan sehingga ia dibuang dari negeri Pagarruyung. Karena Tuanku Raja Muda tidak ingin putrinya menjadi perawan tua, ia memutuskan untuk menikahkan puterinya dengan Tuanku Imbang Jaya. Pada saat ini, untuk menjaga segala kemungkinan, Tuanku Imbang Jaya membayar orang orang terpilih sebagai penyamun di Bukit Tambuntulang yang tugasnya menyamun orang orang yang datang dari Barat. Mendengar kedatangan itu, Cindur Mata menjadi marah dan ia langsung mengajak Dang Tuanku untuk kembali ke negerinya. Hal ini membuat Datuk Bendahara dan orang orang yang ada di gelangga kebingungan.

Setibanya di Pagaruyung, Cindur Mata menjelaskan berita yang didengarnya kepada Bunda Kandung. Bukan main marahnya Bunda Kandung kepada adik kandungnya yang bergelar Raja Muda itu. Ia bahkan ingin menyerang kerajaan Raja Muda. Sekalipun Dang Tuanku dan Cindur Mata berusaha mengingatkannya bahwa peperangan itu akan menghabiskan persediaan emas dan perak Istana, ia tidak mempedulikannya, bahkan ia mengumpulkan Besar Empat Balai.

Atas saran Dang Tuanku, Bunda Kandung memerintahkan Cindur Mata untuk mengunjungi ranah Sikelawi dengan ditemani oleh binuang kerbau yang kuat yang besar badannya melebihi gajah dengan membawa beras secupak, sirih pinang selengkapnya pertanda putih hati dan muka yang jernih. Sebelum Cindur Mata pergi Sungaingiang , Dang Tuanku berpesan kepadanya, untuk menemui Upik Putri Bungsu dan mencerikan kepadanya bahwa ia dalam keadaan baik. Ia juga memerintahkan Cindur Mata untuk menjemput sang putri, dan bila sang putri tidak mau, ia sendiri yang akan menjemputnya.

Cindur Mata bersiap siap menuju Sungaingiang dengan ditemani oleh binuang dan umarang seekor kuda pilihan Istana yang larinya sangat cepat Sebelum berangkat, Bunda Kandung dan Dang Tuanku memberikan petuah kepadanya. Cindur Mata juga memohon restu kepada ibu kandungnya, si Kembang Bendahari. Ia juga berpamitan kepada Besar Balai Empat. Semua orang yang menyaksikan kepergian Cindur Mata tampak berlinang air mata karena tugas yang diemban Cindur Mata ini sangatlah berat.

Setelah naik turun gunung, melintasi hutan rimba sampailah Cindur Mata pada sebuah bukit Tanbuntuang yang sangat tinggi. Atas kekuasaan Allah, ia mendapat firasat akan bahaya yang mengancam dirinya. Ia menoleh ke arah kiri dan menemukan timbunan tengkorak, lalu ia menghampiri tengkorak tengkorak itu. Ia menangis mengenang nasib orang orang yang teraniaya itu. Kemudian ia memakan sirih sekapur dan mengunyah pinang dan menyemburkannya pada tumpukan tengkorak itu. Atas kekuasaan Allah SWT. Pula terdenganr suara dari timbunan tengkorak. Ia melarang Cindur untuk melewati jalan tersebut karena banyak penyamun yang akan menghadang perjalannya. Merka bukan menyamun karena harta, bukan pula karena dendam, melainkan menginginkan nyawa. Mereka telah membunuh ratusan bahkan ribuan orang yang melewati jalan tersebut.

Gerombolan penyamun ini adalah orang orang pilihan yang memiliki ilmu dan kekebalan yang sangat tinggi. Pimpinannya adalah Datu Gempa Cina yang memiliki lembing seluas dauh birah, pedang seluas daun pesing, kulitnya tidak termakan besi. Yang lainnya bernama Datuk Biduri Sakti, yang mampu memakan emping besi, menggaruk gergaji; yang lainnya lagi adalah Datuk Rendang Kacang, Datuk Gerak Gasing, dan Mancit Pelejang Antah, dan masih banyak lagi.

Mendengar penuturan itu, Cindur Mata menghadap ke Pagarruyung seraya berdoa agar Bunda Kandung dan Dang Tuanku mendoakan keselematannya. Ia segera melanjutkan perjalannya sehingga sampailah ia pada suatu bukit yang sangat menyeramkan. Ia mendengar suara hantu, ada yang menjerit , ada yang mengaduh, ada pula yang meratap. Tercium olehnya bau busuk dan anyir yang sangat menyengat ketika ia melewati tumpukan mayat yang mulai membusuk.ia kemudian memakan sirih sekapur dan mengunyah pinang, memakan tembakau jawa, lalu mengamalkan ilmu pitanggang halimun, pitunduk dan pilayah, serta pigaring dan pigentar sehingga semua rasa takutnya hilang berganti dengan kegembiraan. Ia menggertak gumarang agar berlari cepat sehingga bunyi genta yang ada pada kuda itu sangat nyaring dan terdengar di seluruh rimba raya.

Mendengar suara genta itu, para penyamun sangat terkejut. Salah satu di antara mereka diperintahkan untuk memanjat pohon dan dan mencari sumber suara genta itu. Ketika melihat seseorang yang berpenampilan sangat mewah, penyamun itu berlari turun dengan secepat cepatnya hingga ia terjatuh dari pohon dan terluka. Mereka segera menghadang Cindur Mata.

Tanpa rasa gentar sedikitpun, Cindur Mata menantang pemimpin gerombolan penyamun itu. Dengan segenap kemampuannya, ia berusaha membunuh gerombolan penyamun itu dan ia berhasil membunuh beberapa di antaranya. Namun, karena jumlah mereka sangat banyak, Cindur Mata merasa kewalahan. Pada saat terdesak oleh gerombolan penyamun itu, ia teringat akan binuang (si kerbau besar yang ganas itu). Ia menyuruh kerbau itu untuk menyeruduk gerombolan itu sehingga mereka lari kocar kacir, bahkan banyak diantara mereka yang terluka.

Semangat Cindur Mata bangkit kembali dan ia segera menyerang gerombolan itu hingga mereka menyerah dan berjanji tidak akan menyamun lagi, lalu mereka sama sama minum air keris dan menyebutkan nama Allah SWT. Karena kearitannya, Cindur Mata mengampuni mereka dan memerintahkan agar mereka tetap berada tempat itu sebelum ia kembali seraya menyerahkan emas tiga tahil.

Cindur Mata segera menaiki si gumarang dan meneruskan perjalannya hingga sampailah ia di kampung rambutan. Mendengar bunyi genta si guramang yang sangat nyaring, para penduduk kampung sangat terkejut. Penghulu mereka yang bernama Datuk Rangkaya Hitam segera keluar dengan diiringi oleh rakyatnya. Betapa terkejutnya mereka melihat kerbau yang begitu besar. Dengan segera, Datuk Rangkaya Hitam menghampiri Cindur Mata dan memintanya untuk singgah di kampungnya. Namun, Cindur Mata menolaknya dengan halus.

Cindur Mata melewati kampung demi kampung hingga ia sampai di Sungaingiang. Ia berhenti di sebuah tepian sungai milik Putri Janit Jintan (adik kandung raja Imbang Jaya) yang dilarang untuk dimasuki oleh siapapun. Karena tidak tahu akan larang tersebut, Cindur Mata membiarkan si binuang minum air sungai itu akan berkubang di dalamnya sehingga air sungai menjadi keruh. Ketika hal itu dilaporkan kepada Putri Janit Jinta, ia menjadi sangat marah dan menyuruh hulubalangnya untuk menangkap Cindur Mata. Hal ini ini membuat Cindur Mata sangat marah dan ia mengeluarkan pedang jenawi sambil menghunuskannya kepada mereka. Petarung diantara mereka pun tidak dapat dihindari.

Salah seorang di antara hulubanang itu melaporkan kejadian itu kepada Raja Imbang Jaya, yang pada saat itu sedang menyabun ayam. Setelah mengetahui persoalan yang sebenarnya, Raja Imbang Jaya mengizinkan Cindur Mata untuk melanjutkan perjalanan. Ia menyalahkan adiknya, Putri Jenit Jinta, karena tidak memberikan tanda larangan yang jelas pada tepian sungai itu.

Cindur Mata pun segera melanjutkan perjalannya menuju ranah Sikelawi. Bunyi genta si gurmarang membuat penduduk rana Sikelawi sedang mempersiapkan pesta pernikahan Putri Bungsu dengan Raja Imbang Jaya, menjadi gempar. Tuanku Raja Muda pun sangat terkejut dan ia melihat dari jendela seraya menyebut nama Allah. Hatinya tersentuh karena pikirannya melayang ke Pagarruyung, teringat si gumarang, karena hanya genta gumaranglah yang bunyinya seperti itu.

Tak lama kemudian, datang seseorang menghadapnya dan menceritakan kedatangan seseorang yang sangat elok bagaikan dewa dari langit dengan mengendarai kuda yang elok dan ia membawa kerbau yang sangat besar dengan pakaian indah dari sekalat merah. Raja Mudah menjadi sangat terkejut karena ia mengetahui bahwa orang yang datang itu adalah si Buyung Sutan Ramndung dari Ulak Tanjungbunga, putra mahkota di Pagarruyung. Ia ingin melarikan diri ke dalam hutan, namun Putri Bungu mencegahnya dan menyarankan agar ayahnya menyambut kedatang tamu dari Pagarruyung itu dengan baik.

Raja Muda pun memanggil semua menteri dan balatentara, serta rakyat untuk menyambutnya. Ia merasa sangat gembira ketika melihat bahwa tamu yang datang adalah Cindur Mata, ia memeluk pemuda itu dan mengajaknya masuk ke istana. Kemudian, Cindur Mata menjelaskan maksud kedatangannya dan menyampaikan titah Bunda Kandung untuk memberikan tanda putih hati dan muka yang jernih, yang itu seekor belalang, secupak beras, sehelai sirih, sebuah pinang, secipir gambir, sejumput tembakau. Ia pun segera pamit untuk kembali ke Pagarruyung. Ia mengatakan Dang Tuanku sakit keras dan menjijikan dan sudah diasingkan dari Pagarruyung dan Bundang Kandung merasa sedih melihat penderitaan puteranya.

Mendengar penuturannya itu, Raja Muda menangis dan meminta Cindur Mata untuk tetap di istananya, sedangkan ia akan pergi ke Pagarruyung menengok kemenakannya dan kakak kandungnya. Namun, Cindur Mata menahannya, ia berkata bahwa ada kemungkinan sesampainya Raja Muda disana, Dang Tuanku telah mati. Orang orang Syah Bandar menyangkal ucapan Cindur Mata karena ia tidak akan datang ke ranah Sikelawi apabila Dang Tuanku itu benar benar sakit. Cindur Mata tersenyum mendengar perkataan mereka.
Keesokannya harinya dilakukan persiapan penyambutan kedatangan mempelai. Seluruh penghulu serta panglima dan pejabat penting diundang. Rakyat pun berbondong bondong ingin menyaksikan pemyambutan itu. Pada saat mempelai sampai di halaman, ia naik ke atas rumah lalu duduk di atas lalu duduk di atas bantal besar. Pesta penyambutan pun di mulai dengan tari tarian. Raja muda meminta Raja Jenang agar menyuruh mempelai menari.

Pada saat tamunya sedang menari, Raja Jenang beranjak ke dapur untuk melihat persiapan perjamuan hidangan. Namun, ia menyaksikan para koki istana tampak kebingunan karena daging dan gulai yang di masak itu tidak mau empuk dan nasi yang ditanak tidak matang, bahkan air untuk memasaknya pun tidak dapat mendidih. Sekalipun menggunakan bertimbun timbun kayu, masakan itu tidak juga matang. Ketika Cindur Mata mendengar hal itu, ia segera berlari ke dapur dan menyorongkan dua buah kayu maka seketika itu semua masakan itu matang. Dan makanan pun siap disajikan kepada para tamu. Namun, pada saat tamu menggigit daging gulai, terdengar bunyi kerbau. Hal ini membuat tamu tamu itu meludahkan makanannya dan merasa ketakutan.

Setelah perjamuan selesai, Raja Jenang memerintahkan Cindur Mata untuk mempersiapkan perjamuan selanjutnya. Cindur Mata pun menyanggupinya kemudian memerintahkan beberapa orang untuk mengisi air pada sebuah guci besar dan meletakkan guci tersebut di sudut dapur. Ia meminta beliung untuk membuat perian, sebagai pembawa air dari tepian.

Cindur Mata kemudian berangkat menuju sungai hilir kampung Sungaingiang, namun bukan untuk mengisi air. Ia hanya berenang, berjemur, dan berenang lagi. Ia terus menerus melakukan hal itu tanpa berkeinginan untuk kembali ke istana. Hal itu membuat semua orang merasa kalang kabut. Mengetahui hal itu, Raja Jenang memerintahkan beberapa orang untuk menjemputnya. Namun, mereka gagal karena Cindur Mata tidak bersedia untuk kembali ke istana, ia bahkan berkata bahwa ia sedang mencari barang yang terjatuh di dalam sungai.

Akhirnya, Raja Jenang dengan Putri Lindung Bulan segera mengenakan pakaiannya dan menghampirinya. Ia menyaksikan bahwa maksud kedatangannya adalah untuk menyampai si benuang beserta isinya dan menjeput putri Bungu. Ia hanya diberi waktu dua bulan untuk berada di Sikelawi. Apabila dalam waktu tersebut, Putri Bungsu tidak juga datang, maka Dang Tuanku akan menjemputnya. Apabila hal ini terjadi, maka perang saudara tidak akan dapat dihindari, sedangkan Imbang Jaya berada di pihak yang menang karena ia sama sekali tidak bersalah bila meminang Putri Bungsu. Maka, Bunda Kandung akan menyalahkan ayah Putri Bungsu karena ia telah melanggar janji. Bila hal itu terjadi, pesta pernikahan Putri Bungsu dan Imbang Jaya tak akan pernah berlangsung dan Putri Bungsu akan menjadi perawan tua.

Mendengar cerita itu, Putri Bungsu menangis. Cindur Mata kemudian mengatur siasat. Ia berkata, “Pada waktu malam hari, ketika mempelai pria datangan dan hendak mengucapkan akad, jangalah Tuan putri pedulikan. Apabila terdengar orang berteriak bahwa si benuang dan si gumarang, berlarilah ke dapur dan pecahkan guci berisi air sehingga api dapur menjadi padam. Setelah itu, turunlah ke halaman dan ikuti jalan tepian, dan kita akan bertemu di sana. Ini ada azimat yang dapat dipakai, masukkan ke dalam sanggul Tuan Putri.” Kemudian, keduanya pulang dan mulai menjalankan strateginya.

Setelah selesai perjamuan makan, Raja Muda menyuruh Cindur Mata, pejabata pejabat penting, menteri untuk menjemput mempelai pria dengan berbagai sambutan yang meriah. Namun, orang orang di dapur merasa kebingungan karena semua masakan tidak dapat matang seperti kejadian sebelumnya. Cindur Mata pun datang menyelesaikan masalah itu.

Melihat kejadian itu, Putri Ranit Jintan, adik Raja Imbang Jaya, menghampiri kakaknya bahwa pesta pernikahan kakaknya dengan Putri Bungsu tidak akan berlangsung dan kalaupun berlangsung pernikahan tersebut takkan kekal. Hal itu akan membuat Imbang Jaya marah. Ia mengancam semua orang, sekalipun berasal dari negeri Cindur Mata, yang akan menghalangi pernikahannya. Perkataannya itu membuat Cindur Mata sehingga terjadilah pertengkaran antara keduanya. Mereka bersiap siap untuk saling menyerang. Namun, Raja Muda berhasil menjernihkan suasana yang keruh itu.

Pada malam perhelatan itu, atas kehendak Allah SWT. Terjadi sesuatu yang gaib, semua yang ada di tempat itu saling bertabrakan, kerbau dengan kerbau, alu dengan alu, tungku dengan tungku, dan lainnya. Semua orang lari kocar kacir. Bertiup pula halilintar, badai, dan hujan. Pada saat itu terdengar orang berteriak bahwa si benuang dan si gumarang lepas. Mendengar hal itu, Putri Bungsu pun segera melaksanakan rencananya bersama Cindur Mata, namun air matanya tak henti hentinya mengalir karena ia merasa sedih harus berpisah dengan kedua orang tua yang disayanginya. Rencana itu pun berhasil. Cindur Mata dan Putri Bungsu segera melarikan dirinya ke Pagarruyung.

Setelah diberitahukan kedatangan Cindur Mata berserta Putri Bungsu, Bunda Kandung segera mengumpulkan Besar Empat Balai, Tuan Kadi, beserta seluruh rakyat untuk memanggil Cindur Mata dan meminta pertanggungjawabannya. Ia juga mempertanyakan mengapa ia mengajak Putri Bungsu dan tidak menyerakan si benuang dan belanjanya. Cindur Mata pun menjelaskan semuanya dan ia pun berkata bahwa ia telah menitipkan Putri Bungsu di istana Tuan Kadi. Bunda Kandung kemudian mengajak Kembang Bendahari, Kembang Bungacina, dan dayang dayang istana untuk menjemput Putri Bungsu. Semua menurutinya, kecuali Dang Tuanku dan Cindur Mata. Ketika bertemu dengan Putri Bungsu, Bunda Kandung tidak dapat menahan air matanya. Ia memeluk kemenakannya.

Sementara itu, hukuman untuk Cindur Mata belum juga dapat diputuskan karena semua orang termasuk Tuan Kadi, Besar Empat Balai, dan Raja Dua Sila ( orang terakhir yang dapat memutuskan suatu perkara) tidak dapat memutuskan hukuman yang tepat bagi Cindur Mata. Semuanya menyerahkan permasalahan itu kepada Dang Tuanku. Setelah melalui perdebatan panjang, akhirnya Dang Tuanku berkata “Jika Mak tua (orang tua Putri Bungsu) datang kemari karena rindu kepada anaknya dan henak membawa putrinya kembali, kita persalini si Bungsu dengan tujun persalin, pemberian Besar Empat Balai, serta dengan Bunda Kandung. Antarkanlah ia beramai ramai sampai ke ranah Sikelawi. Berilah dayang kepada mereka. Namun, jika Imbang Jaya yang datang kemari, janganlah menyerahkan Putri Bungsu kepadanya karena belum tentu sang Putri menyukainya. Jika kedatangan mereka bermaksud mengajak berperang, maka Bunda Kandung harus mempersiapkan segalanya. Jalan yang terbaik saat ini adalah mengirimkan Putri Bunsu dan Cindur Mata ke Indrapura agar bila kelak Imbang Jaya datang kemari, ia tidak akan dapat menemui keduanya.”

Permasalahan itu pun selesailah sudah. Kini hanya tinggal membicarakan tentang permasalahan pesta pernikahan antara Cindur Mata dan si Upik Lenggo geni dan pernikahan Dang Tuanku dengan Putri Bungsu. Pada petang Kamis malam Jumat, kedua pasangan itu dinikahkan. Dang Tuanku dan Putri Bungsu tinggal di dalam kampung Kota Dalam, di atas anjung kesaktian di lingkung kelambu Cindai halus, sedangkan Cindur Mata dan Putri Lenggo Geni pulang ke Sungaitarab.

Sementara itu, Imbang Jaya yang merasa kehilangan tunangannya merasa sangat marah. Ia bermaksud menyerang negeri Pagarruyung yang telah menculik tunangannya. Putri Ranit Jintan mengusulkan agar mereka membakar negeri Pagarruyung dengan cermin api besar. Maka ia menyuruh ebberapa orang untuk pergi ke Pagarruyung dan mulai menjalankan rencananya. Mereka mulai mengarahkan cermin itu ke segala penjuru, sehingga rumah kecil kecil di sekitar negeri Pagarruyung terbakar.

Kobaran apinya terlihat oleh Dang Tuanku. Ia mengambil cermin terus dan mengarahkan cermin tersebut ke arah kobaran api tersebut. Ia melihat banyak orang berkumpul di Batupatah sedang mengarahkan cermin besar, maka ia memerintahkan Cindur Mata untuk menumpas mereka. Cindur Mata segera menuju tempat mereka. Ia menghunus pedang jenawi dan membawa si benuang untuk menumpas musuh. Peperangan antara keduanya pun tidak tererakkan lagi. Peperangan tersebut dimenangkan oleh Cindur Mata.

Mendengar kekelahan pasukannya, Imbang Jaya sangat marah. Ia mengerahkan pasukannya untuk menyerang Pagarruyung. Mereka pun mulai menyerang Pertarungan pun berlangsung sengit. Imbang Jaya pun tewas terbelah dua oleh Raja Dua Sila. Melihat rajanya mati pasukan Imbang Jaya pun menyerah. Raja Tiang Bungkuk (ayah dari Imbang Jaya) sangat marah mendengar kematian anaknya. Ia bermaksud menyerang Pagarruyung. Dalam menghadapi Tiang Bungkuk, diputuskan bahwa Cindur Mata akan menghadapinya secara langsung tanpa melibatkan raja Dua Sila dan Besar Empat Balai.

Suatu malam, Dang Tuanku bermimpi bahwa ia, Bunda Kandung, dan Putri Bungsu diperintahkan untuk meninggalkan dunia ini. Pada saat Tiang Bungkuk datang, dari langit akan turun sebuah perahu (perhu Nabi Nuh) yang akan membawa mereka. Ketiganya tidak akan dikuburkan di Pagarruyung melainkan di tanah suci. Mendengar mimpi Dang Tuangku, Bunda Kandung menangis dan memerintahkan seluruh rakyatnya untuk berkumpul. Ia kemudian menobatkan Cindur Mata sebagai raja Pagarruyung, dengar gelar Raja Muda.

Ketika mendengar kedatangan Tiang Bungkuk, Cindur mata yang telah bergelar Raja Muda, mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Maka keduanya pun bertemu dan saring menyerang. Dengan segenap kemampuannya, keduanya berusaha saling menyerang, mereka sama sama kuat. Semua orang yang menyaksikan pertarungan itu merasa berdebar debar karena tidak ada tanda tanda kekalahan pada salah satu di antara mereka hingga pertarungan antara keduanya pun dihentikan. Namun, dengan kecerdikan Cindur Mata, ia dapat menjaga negeri Sungaingiang dan menyerahkan putrinya, Ranit Jintan.

Cindur Mata diangkat menjadi raja Sungaingiang dan ranah Sikelewi. Ia kemudian menikah dengan putri Retno Bulan, adik kandung putri Bungsu anak putri Lindung Bulan. Tiga musim setelah pernikahannya dengan Putri Reno Bulan, lahirlah Sutan Lembang Alam, yang kemudian bergelar Sutan Amiru’llah. Tiga musim kemudian, lahirlah adik dari Sutan Amiru’llahyang bernama Putri Lembak Tuah. Beberapa lama kemudian Sutan Amiru’llah dinobatkan sebagai raja untuk menggantikan ayahnya.

Kemudian, Cindur Mata pulang ke negeri Pagarruyung. Maka, Cindur Mata pun memerintah alam Minangkabau serta daerah taklukannya dari gunung Mahalintang sampai ke riak serta daerah taklukan lainnya. Cindur Mata yang bergelar tuanku Raja Muda memerintah dengan bijaksana sehingga rakyat merasa makmur, negeri aman. 
0 Komentar untuk "Cerpen - Cindur Mata, Karya H.Aman Dt."

Back To Top