Minangkabau diperintah oleh seorang raja perempuan yang
bergelar Bunda Kandung. Ia memiliki seorang putera laki laki yang diberi gelar
Dang Tuanku. Pada saat itu, Dang Tuanku telah dinobatkan menjadi raja, sehingga
Bunda Kandung hanyalah sebagai penasehat kerajaan. Oada tepat tengah hari,
Bunda Kandung menyuruh pelayannya Si Kembang untuk membangunkan anaknya dan
menemuinya di serambi. Namun, pelayannya itu menolak karena ia tidak berani
membangunkan Dang Tuanku. Dengan ditemani Si Kembang. Bunda Kandung menghampiri
kamar anaknya. Ia menceritakan kabar bahwa datuk Bendahara di negeri
Sungaitarap mencari jodoh bagi Putri Lenggo Geni. Banyak sutan dan anak raja
yang meminangnya, namun semua itu ditolak oleh gadis itu.
Bunda Kandung menyuruh Dang Tuanku membicarakan rencana
perjodohan Cindur mata dengan Putri Lenggo Geni. Ia meminta agar perundingan
ini dirahasiakan sehingga bila ditolak, mereka tidak mendapt malu. Ia juga
memerintahkan agar anaknya mengajak Cindur Mata dan beberapa orang pelayan,
yaitu Barakat, Baruiih, dan Tamabhi, serta membawa seekor ayam kinantan
sabungan.
Keesokan harinya kira kira pukul sembilan pagi, Bunda Kandung
memerintahkan beberapa pelayan untuk mencari Cindur Mata yang sudah tiga hari
di pulang. Setelah Cindur Mata berada di hadapannya, Bunda Kandung menyuruhnya
untuk pergi ke Sungaitarab menemai Dang Tuanku.
Dalam perjalanan menuju Sungaitarab itu, banyak rakyatyang
terkagum kagum akan penampilan mereka yang serba gemerlapan. Mereka berlomba
lombauntuk melihat rombngan itu dari dekat. Kemudian, datanglah seorang menteri
tua memberitahukan bahwa rombongan itu adalah Raja Syah Alam yang memerintah di
Paarruyung. Ia juga menyuruh seorang utusan untuk memberitahukan Datuk
Bendahara akan kedatangan raja mereka. Mendengar kedatangan rombongan raja itu,
Datuk Bendahara segera mengadakan pesta penyambutan yang sangat meriah.
Petang harinya, Dang Tuanku menceritakan maksud kedatangan
untuk menjodohkan Cindur Mata dan Putri Lenggo Geni. Tanpa berpikir panjang
Datuk Bendahara mengabulkan permintaan itu. Sebagai tanda pertunangan keduanya,
Dang Tuanku menyerahkan sebuah rencong tatah permata buatan Agam Mandiangin,
sedangkan Datuk Bendahara memberikan sebuah cincin permata akik.
Keesokan harinya ketika Dang Tuanku dan Bendahara menyabung
ayam di gelanggang, Cindur Mata berjalan jalan ke hilir pasar. Ia bertemu
dengan seorang penggalas yang hendak menjual ayam sabungannya. Tentu saja,
Cindur Mata merasa heran karena penggalas itu datang jauh jauh hanya untuk
menjual ayam sabungan saja. Penggalas itu kemudian menjelaskan bahwa
dinegerinya akan diadakan pesta pernikahan Tuanku Imbang Jaya dan Upik Puteri
Bungsu, putri tuanku di Pagarruyung (Dang Tuanku) sejak ia dilahirkan. Namun,
tersiar kabar bahwa Dang Tuanku menderita suatu penyakit parah dan menjijikan
sehingga ia dibuang dari negeri Pagarruyung. Karena Tuanku Raja Muda tidak
ingin putrinya menjadi perawan tua, ia memutuskan untuk menikahkan puterinya
dengan Tuanku Imbang Jaya. Pada saat ini, untuk menjaga segala kemungkinan, Tuanku
Imbang Jaya membayar orang orang terpilih sebagai penyamun di Bukit
Tambuntulang yang tugasnya menyamun orang orang yang datang dari Barat.
Mendengar kedatangan itu, Cindur Mata menjadi marah dan ia langsung mengajak
Dang Tuanku untuk kembali ke negerinya. Hal ini membuat Datuk Bendahara dan
orang orang yang ada di gelangga kebingungan.
Setibanya di Pagaruyung, Cindur Mata menjelaskan berita yang
didengarnya kepada Bunda Kandung. Bukan main marahnya Bunda Kandung kepada adik
kandungnya yang bergelar Raja Muda itu. Ia bahkan ingin menyerang kerajaan Raja
Muda. Sekalipun Dang Tuanku dan Cindur Mata berusaha mengingatkannya bahwa
peperangan itu akan menghabiskan persediaan emas dan perak Istana, ia tidak
mempedulikannya, bahkan ia mengumpulkan Besar Empat Balai.
Atas saran Dang Tuanku, Bunda Kandung memerintahkan Cindur
Mata untuk mengunjungi ranah Sikelawi dengan ditemani oleh binuang kerbau yang
kuat yang besar badannya melebihi gajah dengan membawa beras secupak, sirih
pinang selengkapnya pertanda putih hati dan muka yang jernih. Sebelum Cindur
Mata pergi Sungaingiang , Dang Tuanku berpesan kepadanya, untuk menemui Upik
Putri Bungsu dan mencerikan kepadanya bahwa ia dalam keadaan baik. Ia juga
memerintahkan Cindur Mata untuk menjemput sang putri, dan bila sang putri tidak
mau, ia sendiri yang akan menjemputnya.
Cindur Mata bersiap siap menuju Sungaingiang dengan ditemani
oleh binuang dan umarang seekor kuda pilihan Istana yang larinya sangat cepat
Sebelum berangkat, Bunda Kandung dan Dang Tuanku memberikan petuah kepadanya.
Cindur Mata juga memohon restu kepada ibu kandungnya, si Kembang Bendahari. Ia
juga berpamitan kepada Besar Balai Empat. Semua orang yang menyaksikan
kepergian Cindur Mata tampak berlinang air mata karena tugas yang diemban
Cindur Mata ini sangatlah berat.
Setelah naik turun gunung, melintasi hutan rimba sampailah
Cindur Mata pada sebuah bukit Tanbuntuang yang sangat tinggi. Atas kekuasaan
Allah, ia mendapat firasat akan bahaya yang mengancam dirinya. Ia menoleh ke
arah kiri dan menemukan timbunan tengkorak, lalu ia menghampiri tengkorak
tengkorak itu. Ia menangis mengenang nasib orang orang yang teraniaya itu.
Kemudian ia memakan sirih sekapur dan mengunyah pinang dan menyemburkannya pada
tumpukan tengkorak itu. Atas kekuasaan Allah SWT. Pula terdenganr suara dari
timbunan tengkorak. Ia melarang Cindur untuk melewati jalan tersebut karena
banyak penyamun yang akan menghadang perjalannya. Merka bukan menyamun karena
harta, bukan pula karena dendam, melainkan menginginkan nyawa. Mereka telah membunuh
ratusan bahkan ribuan orang yang melewati jalan tersebut.
Gerombolan penyamun ini adalah orang orang pilihan yang
memiliki ilmu dan kekebalan yang sangat tinggi. Pimpinannya adalah Datu Gempa
Cina yang memiliki lembing seluas dauh birah, pedang seluas daun pesing,
kulitnya tidak termakan besi. Yang lainnya bernama Datuk Biduri Sakti, yang
mampu memakan emping besi, menggaruk gergaji; yang lainnya lagi adalah Datuk
Rendang Kacang, Datuk Gerak Gasing, dan Mancit Pelejang Antah, dan masih banyak
lagi.
Mendengar penuturan itu, Cindur Mata menghadap ke Pagarruyung
seraya berdoa agar Bunda Kandung dan Dang Tuanku mendoakan keselematannya. Ia
segera melanjutkan perjalannya sehingga sampailah ia pada suatu bukit yang
sangat menyeramkan. Ia mendengar suara hantu, ada yang menjerit , ada yang
mengaduh, ada pula yang meratap. Tercium olehnya bau busuk dan anyir yang
sangat menyengat ketika ia melewati tumpukan mayat yang mulai membusuk.ia
kemudian memakan sirih sekapur dan mengunyah pinang, memakan tembakau jawa,
lalu mengamalkan ilmu pitanggang halimun, pitunduk dan pilayah, serta pigaring
dan pigentar sehingga semua rasa takutnya hilang berganti dengan kegembiraan.
Ia menggertak gumarang agar berlari cepat sehingga bunyi genta yang ada pada
kuda itu sangat nyaring dan terdengar di seluruh rimba raya.
Mendengar suara genta itu, para penyamun sangat terkejut.
Salah satu di antara mereka diperintahkan untuk memanjat pohon dan dan mencari
sumber suara genta itu. Ketika melihat seseorang yang berpenampilan sangat mewah,
penyamun itu berlari turun dengan secepat cepatnya hingga ia terjatuh dari
pohon dan terluka. Mereka segera menghadang Cindur Mata.
Tanpa rasa gentar sedikitpun, Cindur Mata menantang pemimpin
gerombolan penyamun itu. Dengan segenap kemampuannya, ia berusaha membunuh
gerombolan penyamun itu dan ia berhasil membunuh beberapa di antaranya. Namun,
karena jumlah mereka sangat banyak, Cindur Mata merasa kewalahan. Pada saat
terdesak oleh gerombolan penyamun itu, ia teringat akan binuang (si kerbau
besar yang ganas itu). Ia menyuruh kerbau itu untuk menyeruduk gerombolan itu
sehingga mereka lari kocar kacir, bahkan banyak diantara mereka yang terluka.
Semangat Cindur Mata bangkit kembali dan ia segera menyerang
gerombolan itu hingga mereka menyerah dan berjanji tidak akan menyamun lagi,
lalu mereka sama sama minum air keris dan menyebutkan nama Allah SWT. Karena
kearitannya, Cindur Mata mengampuni mereka dan memerintahkan agar mereka tetap
berada tempat itu sebelum ia kembali seraya menyerahkan emas tiga tahil.
Cindur Mata segera menaiki si gumarang dan meneruskan
perjalannya hingga sampailah ia di kampung rambutan. Mendengar bunyi genta si
guramang yang sangat nyaring, para penduduk kampung sangat terkejut. Penghulu
mereka yang bernama Datuk Rangkaya Hitam segera keluar dengan diiringi oleh
rakyatnya. Betapa terkejutnya mereka melihat kerbau yang begitu besar. Dengan
segera, Datuk Rangkaya Hitam menghampiri Cindur Mata dan memintanya untuk
singgah di kampungnya. Namun, Cindur Mata menolaknya dengan halus.
Cindur Mata melewati kampung demi kampung hingga ia sampai di
Sungaingiang. Ia berhenti di sebuah tepian sungai milik Putri Janit Jintan
(adik kandung raja Imbang Jaya) yang dilarang untuk dimasuki oleh siapapun.
Karena tidak tahu akan larang tersebut, Cindur Mata membiarkan si binuang minum
air sungai itu akan berkubang di dalamnya sehingga air sungai menjadi keruh.
Ketika hal itu dilaporkan kepada Putri Janit Jinta, ia menjadi sangat marah dan
menyuruh hulubalangnya untuk menangkap Cindur Mata. Hal ini ini membuat Cindur
Mata sangat marah dan ia mengeluarkan pedang jenawi sambil menghunuskannya
kepada mereka. Petarung diantara mereka pun tidak dapat dihindari.
Salah seorang di antara hulubanang itu melaporkan kejadian
itu kepada Raja Imbang Jaya, yang pada saat itu sedang menyabun ayam. Setelah
mengetahui persoalan yang sebenarnya, Raja Imbang Jaya mengizinkan Cindur Mata
untuk melanjutkan perjalanan. Ia menyalahkan adiknya, Putri Jenit Jinta, karena
tidak memberikan tanda larangan yang jelas pada tepian sungai itu.
Cindur Mata pun segera melanjutkan perjalannya menuju ranah
Sikelawi. Bunyi genta si gurmarang membuat penduduk rana Sikelawi sedang
mempersiapkan pesta pernikahan Putri Bungsu dengan Raja Imbang Jaya, menjadi
gempar. Tuanku Raja Muda pun sangat terkejut dan ia melihat dari jendela seraya
menyebut nama Allah. Hatinya tersentuh karena pikirannya melayang ke
Pagarruyung, teringat si gumarang, karena hanya genta gumaranglah yang bunyinya
seperti itu.
Tak lama kemudian, datang seseorang menghadapnya dan menceritakan
kedatangan seseorang yang sangat elok bagaikan dewa dari langit dengan
mengendarai kuda yang elok dan ia membawa kerbau yang sangat besar dengan
pakaian indah dari sekalat merah. Raja Mudah menjadi sangat terkejut karena ia
mengetahui bahwa orang yang datang itu adalah si Buyung Sutan Ramndung dari
Ulak Tanjungbunga, putra mahkota di Pagarruyung. Ia ingin melarikan diri ke
dalam hutan, namun Putri Bungu mencegahnya dan menyarankan agar ayahnya
menyambut kedatang tamu dari Pagarruyung itu dengan baik.
Raja Muda pun memanggil semua menteri dan balatentara, serta
rakyat untuk menyambutnya. Ia merasa sangat gembira ketika melihat bahwa tamu
yang datang adalah Cindur Mata, ia memeluk pemuda itu dan mengajaknya masuk ke
istana. Kemudian, Cindur Mata menjelaskan maksud kedatangannya dan menyampaikan
titah Bunda Kandung untuk memberikan tanda putih hati dan muka yang jernih,
yang itu seekor belalang, secupak beras, sehelai sirih, sebuah pinang, secipir
gambir, sejumput tembakau. Ia pun segera pamit untuk kembali ke Pagarruyung. Ia
mengatakan Dang Tuanku sakit keras dan menjijikan dan sudah diasingkan dari
Pagarruyung dan Bundang Kandung merasa sedih melihat penderitaan puteranya.
Mendengar penuturannya itu, Raja Muda menangis dan meminta
Cindur Mata untuk tetap di istananya, sedangkan ia akan pergi ke Pagarruyung
menengok kemenakannya dan kakak kandungnya. Namun, Cindur Mata menahannya, ia
berkata bahwa ada kemungkinan sesampainya Raja Muda disana, Dang Tuanku telah
mati. Orang orang Syah Bandar menyangkal ucapan Cindur Mata karena ia tidak
akan datang ke ranah Sikelawi apabila Dang Tuanku itu benar benar sakit. Cindur
Mata tersenyum mendengar perkataan mereka.
Keesokannya harinya dilakukan persiapan penyambutan
kedatangan mempelai. Seluruh penghulu serta panglima dan pejabat penting
diundang. Rakyat pun berbondong bondong ingin menyaksikan pemyambutan itu. Pada
saat mempelai sampai di halaman, ia naik ke atas rumah lalu duduk di atas lalu
duduk di atas bantal besar. Pesta penyambutan pun di mulai dengan tari tarian.
Raja muda meminta Raja Jenang agar menyuruh mempelai menari.
Pada saat tamunya sedang menari, Raja Jenang beranjak ke
dapur untuk melihat persiapan perjamuan hidangan. Namun, ia menyaksikan para
koki istana tampak kebingunan karena daging dan gulai yang di masak itu tidak
mau empuk dan nasi yang ditanak tidak matang, bahkan air untuk memasaknya pun
tidak dapat mendidih. Sekalipun menggunakan bertimbun timbun kayu, masakan itu
tidak juga matang. Ketika Cindur Mata mendengar hal itu, ia segera berlari ke
dapur dan menyorongkan dua buah kayu maka seketika itu semua masakan itu
matang. Dan makanan pun siap disajikan kepada para tamu. Namun, pada saat tamu
menggigit daging gulai, terdengar bunyi kerbau. Hal ini membuat tamu tamu itu
meludahkan makanannya dan merasa ketakutan.
Setelah perjamuan selesai, Raja Jenang memerintahkan Cindur
Mata untuk mempersiapkan perjamuan selanjutnya. Cindur Mata pun menyanggupinya
kemudian memerintahkan beberapa orang untuk mengisi air pada sebuah guci besar
dan meletakkan guci tersebut di sudut dapur. Ia meminta beliung untuk membuat
perian, sebagai pembawa air dari tepian.
Cindur Mata kemudian berangkat menuju sungai hilir kampung
Sungaingiang, namun bukan untuk mengisi air. Ia hanya berenang, berjemur, dan
berenang lagi. Ia terus menerus melakukan hal itu tanpa berkeinginan untuk
kembali ke istana. Hal itu membuat semua orang merasa kalang kabut. Mengetahui
hal itu, Raja Jenang memerintahkan beberapa orang untuk menjemputnya. Namun,
mereka gagal karena Cindur Mata tidak bersedia untuk kembali ke istana, ia
bahkan berkata bahwa ia sedang mencari barang yang terjatuh di dalam sungai.
Akhirnya, Raja Jenang dengan Putri Lindung Bulan segera
mengenakan pakaiannya dan menghampirinya. Ia menyaksikan bahwa maksud
kedatangannya adalah untuk menyampai si benuang beserta isinya dan menjeput
putri Bungu. Ia hanya diberi waktu dua bulan untuk berada di Sikelawi. Apabila
dalam waktu tersebut, Putri Bungsu tidak juga datang, maka Dang Tuanku akan
menjemputnya. Apabila hal ini terjadi, maka perang saudara tidak akan dapat
dihindari, sedangkan Imbang Jaya berada di pihak yang menang karena ia sama
sekali tidak bersalah bila meminang Putri Bungsu. Maka, Bunda Kandung akan
menyalahkan ayah Putri Bungsu karena ia telah melanggar janji. Bila hal itu
terjadi, pesta pernikahan Putri Bungsu dan Imbang Jaya tak akan pernah
berlangsung dan Putri Bungsu akan menjadi perawan tua.
Mendengar cerita itu, Putri Bungsu menangis. Cindur Mata
kemudian mengatur siasat. Ia berkata, “Pada waktu malam hari, ketika mempelai
pria datangan dan hendak mengucapkan akad, jangalah Tuan putri pedulikan.
Apabila terdengar orang berteriak bahwa si benuang dan si gumarang, berlarilah
ke dapur dan pecahkan guci berisi air sehingga api dapur menjadi padam. Setelah
itu, turunlah ke halaman dan ikuti jalan tepian, dan kita akan bertemu di sana.
Ini ada azimat yang dapat dipakai, masukkan ke dalam sanggul Tuan Putri.”
Kemudian, keduanya pulang dan mulai menjalankan strateginya.
Setelah selesai perjamuan makan, Raja Muda menyuruh Cindur
Mata, pejabata pejabat penting, menteri untuk menjemput mempelai pria dengan
berbagai sambutan yang meriah. Namun, orang orang di dapur merasa kebingungan
karena semua masakan tidak dapat matang seperti kejadian sebelumnya. Cindur
Mata pun datang menyelesaikan masalah itu.
Melihat kejadian itu, Putri Ranit Jintan, adik Raja Imbang
Jaya, menghampiri kakaknya bahwa pesta pernikahan kakaknya dengan Putri Bungsu
tidak akan berlangsung dan kalaupun berlangsung pernikahan tersebut takkan
kekal. Hal itu akan membuat Imbang Jaya marah. Ia mengancam semua orang,
sekalipun berasal dari negeri Cindur Mata, yang akan menghalangi pernikahannya.
Perkataannya itu membuat Cindur Mata sehingga terjadilah pertengkaran antara
keduanya. Mereka bersiap siap untuk saling menyerang. Namun, Raja Muda berhasil
menjernihkan suasana yang keruh itu.
Pada malam perhelatan itu, atas kehendak Allah SWT. Terjadi
sesuatu yang gaib, semua yang ada di tempat itu saling bertabrakan, kerbau
dengan kerbau, alu dengan alu, tungku dengan tungku, dan lainnya. Semua orang
lari kocar kacir. Bertiup pula halilintar, badai, dan hujan. Pada saat itu
terdengar orang berteriak bahwa si benuang dan si gumarang lepas. Mendengar hal
itu, Putri Bungsu pun segera melaksanakan rencananya bersama Cindur Mata, namun
air matanya tak henti hentinya mengalir karena ia merasa sedih harus berpisah
dengan kedua orang tua yang disayanginya. Rencana itu pun berhasil. Cindur Mata
dan Putri Bungsu segera melarikan dirinya ke Pagarruyung.
Setelah diberitahukan kedatangan Cindur Mata berserta Putri
Bungsu, Bunda Kandung segera mengumpulkan Besar Empat Balai, Tuan Kadi, beserta
seluruh rakyat untuk memanggil Cindur Mata dan meminta pertanggungjawabannya.
Ia juga mempertanyakan mengapa ia mengajak Putri Bungsu dan tidak menyerakan si
benuang dan belanjanya. Cindur Mata pun menjelaskan semuanya dan ia pun berkata
bahwa ia telah menitipkan Putri Bungsu di istana Tuan Kadi. Bunda Kandung
kemudian mengajak Kembang Bendahari, Kembang Bungacina, dan dayang dayang
istana untuk menjemput Putri Bungsu. Semua menurutinya, kecuali Dang Tuanku dan
Cindur Mata. Ketika bertemu dengan Putri Bungsu, Bunda Kandung tidak dapat
menahan air matanya. Ia memeluk kemenakannya.
Sementara itu, hukuman untuk Cindur Mata belum juga dapat
diputuskan karena semua orang termasuk Tuan Kadi, Besar Empat Balai, dan Raja
Dua Sila ( orang terakhir yang dapat memutuskan suatu perkara) tidak dapat
memutuskan hukuman yang tepat bagi Cindur Mata. Semuanya menyerahkan
permasalahan itu kepada Dang Tuanku. Setelah melalui perdebatan panjang,
akhirnya Dang Tuanku berkata “Jika Mak tua (orang tua Putri Bungsu) datang
kemari karena rindu kepada anaknya dan henak membawa putrinya kembali, kita
persalini si Bungsu dengan tujun persalin, pemberian Besar Empat Balai, serta
dengan Bunda Kandung. Antarkanlah ia beramai ramai sampai ke ranah Sikelawi.
Berilah dayang kepada mereka. Namun, jika Imbang Jaya yang datang kemari,
janganlah menyerahkan Putri Bungsu kepadanya karena belum tentu sang Putri
menyukainya. Jika kedatangan mereka bermaksud mengajak berperang, maka Bunda
Kandung harus mempersiapkan segalanya. Jalan yang terbaik saat ini adalah
mengirimkan Putri Bunsu dan Cindur Mata ke Indrapura agar bila kelak Imbang
Jaya datang kemari, ia tidak akan dapat menemui keduanya.”
Permasalahan itu pun selesailah sudah. Kini hanya tinggal
membicarakan tentang permasalahan pesta pernikahan antara Cindur Mata dan si
Upik Lenggo geni dan pernikahan Dang Tuanku dengan Putri Bungsu. Pada petang
Kamis malam Jumat, kedua pasangan itu dinikahkan. Dang Tuanku dan Putri Bungsu
tinggal di dalam kampung Kota Dalam, di atas anjung kesaktian di lingkung
kelambu Cindai halus, sedangkan Cindur Mata dan Putri Lenggo Geni pulang ke
Sungaitarab.
Sementara itu, Imbang Jaya yang merasa kehilangan tunangannya
merasa sangat marah. Ia bermaksud menyerang negeri Pagarruyung yang telah
menculik tunangannya. Putri Ranit Jintan mengusulkan agar mereka membakar
negeri Pagarruyung dengan cermin api besar. Maka ia menyuruh ebberapa orang
untuk pergi ke Pagarruyung dan mulai menjalankan rencananya. Mereka mulai
mengarahkan cermin itu ke segala penjuru, sehingga rumah kecil kecil di sekitar
negeri Pagarruyung terbakar.
Kobaran apinya terlihat oleh Dang Tuanku. Ia mengambil cermin
terus dan mengarahkan cermin tersebut ke arah kobaran api tersebut. Ia melihat
banyak orang berkumpul di Batupatah sedang mengarahkan cermin besar, maka ia
memerintahkan Cindur Mata untuk menumpas mereka. Cindur Mata segera menuju
tempat mereka. Ia menghunus pedang jenawi dan membawa si benuang untuk menumpas
musuh. Peperangan antara keduanya pun tidak tererakkan lagi. Peperangan
tersebut dimenangkan oleh Cindur Mata.
Mendengar kekelahan pasukannya, Imbang Jaya sangat marah. Ia
mengerahkan pasukannya untuk menyerang Pagarruyung. Mereka pun mulai menyerang
Pertarungan pun berlangsung sengit. Imbang Jaya pun tewas terbelah dua oleh
Raja Dua Sila. Melihat rajanya mati pasukan Imbang Jaya pun menyerah. Raja
Tiang Bungkuk (ayah dari Imbang Jaya) sangat marah mendengar kematian anaknya.
Ia bermaksud menyerang Pagarruyung. Dalam menghadapi Tiang Bungkuk, diputuskan
bahwa Cindur Mata akan menghadapinya secara langsung tanpa melibatkan raja Dua
Sila dan Besar Empat Balai.
Suatu malam, Dang Tuanku bermimpi bahwa ia, Bunda Kandung,
dan Putri Bungsu diperintahkan untuk meninggalkan dunia ini. Pada saat Tiang
Bungkuk datang, dari langit akan turun sebuah perahu (perhu Nabi Nuh) yang akan
membawa mereka. Ketiganya tidak akan dikuburkan di Pagarruyung melainkan di
tanah suci. Mendengar mimpi Dang Tuangku, Bunda Kandung menangis dan
memerintahkan seluruh rakyatnya untuk berkumpul. Ia kemudian menobatkan Cindur
Mata sebagai raja Pagarruyung, dengar gelar Raja Muda.
Ketika mendengar kedatangan Tiang Bungkuk, Cindur mata yang
telah bergelar Raja Muda, mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Maka keduanya
pun bertemu dan saring menyerang. Dengan segenap kemampuannya, keduanya
berusaha saling menyerang, mereka sama sama kuat. Semua orang yang menyaksikan
pertarungan itu merasa berdebar debar karena tidak ada tanda tanda kekalahan
pada salah satu di antara mereka hingga pertarungan antara keduanya pun
dihentikan. Namun, dengan kecerdikan Cindur Mata, ia dapat menjaga negeri
Sungaingiang dan menyerahkan putrinya, Ranit Jintan.
Cindur Mata diangkat menjadi raja Sungaingiang dan ranah
Sikelewi. Ia kemudian menikah dengan putri Retno Bulan, adik kandung putri
Bungsu anak putri Lindung Bulan. Tiga musim setelah pernikahannya dengan Putri
Reno Bulan, lahirlah Sutan Lembang Alam, yang kemudian bergelar Sutan
Amiru’llah. Tiga musim kemudian, lahirlah adik dari Sutan Amiru’llahyang
bernama Putri Lembak Tuah. Beberapa lama kemudian Sutan Amiru’llah dinobatkan
sebagai raja untuk menggantikan ayahnya.
Kemudian, Cindur Mata pulang ke negeri Pagarruyung. Maka,
Cindur Mata pun memerintah alam Minangkabau serta daerah taklukannya dari
gunung Mahalintang sampai ke riak serta daerah taklukan lainnya. Cindur Mata
yang bergelar tuanku Raja Muda memerintah dengan bijaksana sehingga rakyat
merasa makmur, negeri aman.
0 Komentar untuk "Cerpen - Cindur Mata, Karya H.Aman Dt."